Forensik Bencana

Dalam konteks keilmuan, anatomi adalah istilah yang hanya dipakai khusus untuk melukiskan dan hubungan bagian-bagian tubuh manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan. Secara sosial, anatomi sering dipakai untuk mengurai suatu hal secara mendalam dan mendetail. Di luar konteks tersebut, istilah ini jarang digunakan.

Saya membandingkan kata ini dengan istilah forensik. Pada dasarnya ia cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum. Forensik juga ilmu bedah berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan. Namun secara sosial, forensik mulai digunakan untuk menelusuri suatu peristiwa secara detail dan sistematik.

Kedua istilah tersebut (anatomi dan forensik) sudah mulai digunakan secara luas, seperti bagaimana kebijakan dilihat dengan kerangka anatomis. Atau kejahatan berbasis teknologi informasi, menggunakan forensik sebagai ilmu bantu dalam menentukan hal-hal yang terjadi.

Opini ini ingin menawarkan konteks bencana banjir yang bisa dilihat dengan menggunakan anatomi atau anatomis, dalam menemukan berbagai kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan. Jika berpijak pada anatomi, bagaimana ilmu itu digunakan. Sedangkan secara anatomis, suatu kejadian dilihat secara detail, dirunut dan diurut satu persatu.

Terus berdebat

Jika membuka berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait pelestarian lingkungan, ada penekanan yang terkesan mulai dilupakan yakni keharusan untuk mengurai secara ilmiah kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan. Setiap kebijakan yang berisiko, harus didukung oleh data-data ilmiah, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan sekaligus terhadap masyarakatnya.

Siapa yang peduli dengan data ilmiah terkait kebijakan? Bahkan pembangunan kekinian rasanya semakin meninggalkan data-data. Pembangunan hanya dengan menggantungkan pada rasa dan psikologis massa.

Berbicara data adalah berbicara rumus. Merujuk pada masa lalu, endatu kita memperkenalkan kearifan lokal atau kearifan tradisional dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Di pinggir sungai tidak boleh ada bangunan. Di lereng sekian derajat tidak boleh digunakan selain pohon. Sayangnya kearifan lokal pun semakin ditinggalkan. Ada rumus kehidupan yang dipegang, kemudian dikembangkan sesuai dengan era kekinian. Rumus yang saya maksud, ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya untuk pembangunan yang berdampak, selalu harus diiringi dengan kajian sosial dan lingkungan.

Dalam realitas, kajian-kajian semacam ini hanya menjawab formalitas. Asal sudah ada. Sehingga tidak heran, ketika terjadi bencana, tidak ada ruang untuk bisa mengkritisi apalagi menggugat. Dengan rasa dan psikologis massa yang saya sebut di atas, pihak yang mengkritisi atau menggugat kebijakan, dengan mudah akan disudutkan sebagai pihak yang anti terhadap pembangunan.

Saya kira debat ini yang terus berlangsung. Debat soal apa yang menyebabkan suatu bencana, sepertinya selalu konteks untuk didiskusikan. Apalahi banjir yang terus menerus terjadi di daerah kita, masih dianggap sebagai hal yang biasa (Serambi, 21/1/2021; 18/1/2021; 6/1/2021). Banjir belum dianggap sesuatu yang mengerikan, walau minggu yang lalu, masyarakat di tiga kabupaten di Aceh harus mengungsi dan rumahnya terendam air.

Saya menduga orang kita sudah kebal. Tidak ada suara protes terhadap kebijakan yang berpotensi banjir. Tetapi bagi publik awam, mereka akan protes kepada siapa? Sungguh tidak mudah ketika berhadapan dengan realitas ini. Ketika terjadinya bencana, pengambil kebijakan juga datang ke lokasi banjir. Kedatangan pengambil kebijakan juga sama seperti kedatang orang biasa. Datang membawa bantuan, menjanjikan bantuan, lalu substansi masalah tetap tidak terselesaikan.

Anatomi Banjir

Opini saya sebelumnya (Serambi, 13/12/2020), menyebutkan bahwa suatu bencana banjir bisa berkorelasi dengan kebijakan. Dalam konteks alih fungsi, bisa saja sesuatu yang legal menyebabkan terjadinya bencana. Kebijakan yang akuntabel akan mengaitkan dengan data. Misalnya saat alih fungsi lahan, dengan rumus akuntabilitas, kebijakan itu bisa ditelusuri tanggung jawab dan pertanggungjawaban. Seseorang yang mengambil kebijakan tidak melalui proses yang lurus dan benar, dan menimbulkan dampak yang sudah bisa diperkirakan sebelumnya, maka seyogianya bisa diminta pertanggungjawaban.

Secara makro, soal kebijakan tidak mungkin bisa dihindarkan dari proses transaksi dan tarik menarik. Kebijakan alih fungsi tidak mungkin tanpa melalui proses-proses politik yang umumnya berlangsung transaksional. Setiap kebijakan itu bisa diukur. Secara forensik, apa yang sudah menjadi kebijakan, bisa ditelusuri hitam putih prosesnya. Kebijakan seharusnya memiliki rekam jejak dalam bentuk notulensi proses dan tidak jarang rekam jejak digital.

Saya tegaskan, bukan pada persoalan boleh tidaknya pemanfaatan sumber daya alam, melainkan pada keterukuran dalam pemanfaatannya. Tidak semua kawasan bisa dimanfaatkan. Kawasan yang harus dilindungi, atau di dalamnya mengandung sumber air bagi hajat hidup orang banyak, harus diperlakukan dengan hati-hati.

Banjir di banyak tempat jelas-jelas mengangkut potongan-potongan kayu. Bukankah awam pun tahu bahwa di ujung sana ada hutan yang dibabat yang umumnya berdasarkan izin? Ketika rakyat merasakan efek banjir, seharusnya kita tersadar bahwa jumlah pemasukan tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan yang ditimbulkan.

Sulit berbicara idealitas, karena rakyat selalu digambarkan harus mendapatkan kesejahteraan (dengan kebijakan yang tidak lestari). Banjir yang diakibatkan oleh perilaku manusia, terjadi berulang-ulang, menjadi bukti dari proses yang tidak lestari itu.

Dalam konteks inilah, setiap banjir bisa ditelusuri penyebabnya. Dengan data, kita akan tahu sejak kapan sering banjir. Jika di hulu ada izin yang diberikan, maka perbandingan bisa dilakukan, seberapa sering banjir sebelum dan sesudah izin tersebut. Pengambil kebijakan bisa mengawasi secara langsung apa yang terjadi pada izin-izin tersebut. Bukankah pengawasan berjenjang juga ditentukan dalam setiap izin berdampak lingkungan? Akan tetapi mengapa bencana seperti banjir terjadi berulang-ulang? Realitas ini lebih jauh bisa didalami. Apakah izin itu diberikan sudah memperhatikan berbagai persyaratan formal dan substansi yang sudah ditentukan peraturan perundang-undangan? Dengan anatomi kebijakan, sepertinya bukan sesuatu yang sulit untuk menemukan jika ada kesalahan.

Diterbitkan oleh kupiluho Sulaiman Tripa

Kolom ini, dalam 400 kata perhari, sebagai ruang belajar, dengan segenap kelemahan. sebagaimana namanya, kupiluho, mudah-mudahan bisa menjadi stimulus siang bagi Anda, Pembaca.

Tinggalkan komentar