Batas Kebaikan dan Kejahatan

Suatu malam, saya menonton sebuah film yang berjudul Home Alone. Pemeran utamanya adalah seorang anak. Berkaitan dengan tulisan ini, penggalan penting yang ingin saya ceritakan seperti di bawah ini.

Seorang anak kecil, membeli sikat gigi di sebuah supermarket. Anak itu memegang satu bungkus sikat gigi itu hingga menuju ke kasir. Ia bahkan sudah mengobrol dengan kasir (berjenis kelamin perempuan). Namun tiba-tiba, di sana, seorang yang berusia tua –dan menakutkan bagi anak itu, berdiri persis di sampingnya. Orang tua itu menatapnya dalam. Anak itu segera ketakutan. Dengan tanpa tersadar, ia segera mengambil ‘langkah seribu’. Anak itu lari lewat pintu depan. Seorang penjaga supermarket mengejarnya, namun gagal menemukannya.

Di depan supermarket, ada sebuah mobil patroli, dengan satu polisi yang memegang pentungan. Melihat polisi, penjaga supermarket itu, langsung meneriakkan ke arah polisi dengan kata-kata ’pencuri’. Polisi pun mengejarnya, namun gagal menangkapnya.

Dengan terengah-engah, anak itu terus berlari dan berhasil mencapai rumahnya di pinggir kota. Ia beristirahat lama. Ketika suasana sudah tenang, anak itu sadar dan berkata, ‘aku telah menjadi kriminal’.

Saat menonton film tersebut, saya langsung teringat kepada sebuah kisah yang diceritakan seorang profesor saya. Kisahnya begini. Seorang mahasiswanya, berprofesi sebagai anggota polisi, mengeluh karena ada pengaduan sebuah supermarket berkaitan dengan sebuah kasus pencurian. Suatu hari, supermarket itu, dikutit oleh seorang remaja berusia sekitar 15 tahun. Remaja itu mencuri sebuah produk coklat (berharga sekitar Rp2.500) dan kebetulan saja aksinya itu tertangkap sama satuan pengaman (Satpam) supermarket. Oleh Satpam, remaja itu kemudian dilaporkan kepada pihak berwajib.

Nah yang menerima laporan itu adalah polisi (mahasiswa profesor saya). Ia, sebagai polisi, wajib melanjutkan laporan tersebut. Menerima pengaduan, dan pengaduan itu, terlebih dahulu dicek secara pribadi. Polisi itu menelusuri remaja yang identitasnya didapat dari Satpam supermarket. Ia sampai ke rumah remaja itu, dan menemukan kondisi kehidupan keluarga remaja itu yang menyedihkan. Hidup pas-pasan.

Di sana, antara keharusan dan kenyataan bermain-main dalam benaknya. Sebagai polisi, ia wajib menindaklanjuti laporan tersebut. Siapa saja yang mencuri, apakah sebuah coklat atau sebuah mobil, akan kena pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Namun melihat harga sebuah makanan yang dicuri, yang bisa jadi karena lapar atau karena sering melihat orang kaya makan coklat, ia tidak bisa menerima kalau harus memprosesnya. Bisa dibayangkan, sebuah coklat Rp2.500 diproses menuju pengadilan, betapa harus dilewati dengan ketidakadilan.

Kasus tersebut terus berjalan, namun tidak sampai ke pengadilan. Tapi paling tidak, itu sudah termasuk sebagai salah satu wajah hukum.

Namun dalam konteks hukum modern, memang tidak ada urusan apakah hukum itu adil atau tidak –walau setiap keputusan hukum selalu ada kata-kata ’keadilan’. Hukum –tepatnya peraturan—dijalankan untuk menjaga ketertiban masyarakat. Oleh Satjipto Rahardjo (2008) disebutkan bahwa negara dipersepsikan sebagai kekuatan ’penjaga malam’ (nachtwakerstaat) –di mana peran negara hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Wajah hukum ini pula yang terlihat dalam kasus mutakhir, yang dialami Prita Mulyasari, ibu dua anak, yang diproses hukum karena dianggap mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit internasional (Rumah Sakit Omni Internasional).

Kasus itu bermula dari sebuah surat elektronik (electronic mail –email) yang ditulis oleh Prita Mulyasari dan berisi keluhannya ketika dirawat di unit gawat darurat Rumah Sakit Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Saat itu, ia merasa ‘dipermainkan’ oleh tenaga medis dan manajemen rumah sakit. Berdasarkan bunyi email tersebut, sebenarnya keluhan Prita sangat masuk akal. Namun demikian, keluhan Prita ini kemudian dibantah manajemen rumah sakit di dua harian nasional (Kompas dan Media Indonesia) –termasuk membalas ke Prita.

Namun demikian, tanggapan manajemen rumah sakit dianggap belum cukup. Mereka bahkan turut memperkarakan Prita ke pengadilan. Dalam kasus perdata, Prita kalah di Pengadilan Negeri Tanggerang, yang memutuskan perkara gugatan perdata Nomor: 300/PDG/6/2008/PN-TNG. Keduanya menyatakan banding.

Selain secara perdata, ternyata kasus tersebut juga ditindaklanjuti secara pidana. Pasal yang dibidik adalah 310 dan 311 KUHP. Namun ketika proses ini sudah berjalan di tingkat kejaksaan, bidikan tersebut bertambah dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Tidak tanggung-tanggung, menurut Pasal 45 UU tersebut, sanksi atas pelanggaran pasal tersebut berupa hukuman penjara maksimal enam tahun dan atau denda Rp 1 miliar.

Pasal inilah yang kemudian jadi dasar untuk menahan Prita selama tiga minggu, hingga akhirnya diganti menjadi tahanan kota pada 4 Juni 2009 akibat banyaknya tekanan publik –bahkan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla turut berempati dengan kasus ini. Sementara Megawati turut membezuk Prita di penjara.

Jaksa Agung, Hendarman Supanji, menyatakan jaksa yang menangani kasus tersebut tidak profesional. Hal ini akan ditelaah, terutama dari penerapan Pasal tersebut yang dirasa kurang tepat.

Pada akhirnya kasus ini menjadi meluas. Demo terjadi di mana-mana. Di dunia maya hiruk-pikuk kecaman juga membahana sedemikian rupa. Seperti ada satu harapan, agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk dalam penerapan hukum (tepatnya undang-undang) kemudian hari.

Kasus ini pada akhirnya telah menjadi salah satu wajah hukum bagi kita. Hukum kemudian oleh sebagian orang, semakin dianggap menakutkan. Bahkan dalam kasus Prita, seorang reporter sebuah televisi menyebut bahwa “hukum sudah demikian menakutkan, dan lebih seram ketimbang hantu”.

Hukum juga menjadi potret. Dalam kasus-kasus yang membuat fenomana kelam hukum di Indonesia, membuat posisi batas yang tipis, antara yang namanya ‘kesalehan’ dengan ‘kejahatan’. Kasus-kasus seperti ini, dapat menjadi cambuk bagi siapa saja yang ada sangkut pautnya dengan hukum, untuk memosisikan hukum pada tempat yang seharusnya.

Diterbitkan oleh kupiluho Sulaiman Tripa

Kolom ini, dalam 400 kata perhari, sebagai ruang belajar, dengan segenap kelemahan. sebagaimana namanya, kupiluho, mudah-mudahan bisa menjadi stimulus siang bagi Anda, Pembaca.

Tinggalkan komentar